Minggu, 24 Juli 2011

Kekerasan Dalam Rumah Pemotongan Hewan (KDRPH)


Judul di atas tidak salah tulis. Penglihatan Anda juga masih normal. Praktek kekerasan dalam dunia hewan yang dilakukan oleh manusia bisa jadi umurnya telah setua peradaban manusia. Dalam film-film dokumenter ditayangkan bagaimana manusia prasejarah membunuh hewan untuk tujuan mencari makan maupun bertahan hidup dari serangan hewan buas. Fungsi perburuan hewan saat itu juga bertujuan memanfaatkan kulit binatang sebagai pakaian.

Hal tersebut berlangsung sampai sekarang, namun dengan modifikasi dan motif yang beragam. Dasar pemenuhan kebutuhan pangan masih mendominasi alasan utama manusia membunuh binatang. Prosesnya jauh lebih beradab dan memakai prosedur yang disepakati. Apalagi untuk kebutuhan bahan baku industri daging beku, produsen harus mengikuti standar pengolahan daging hewan yang telah ditetapkan badan pangan dunia.

Saya pernah berkesempatan bercakap-cakap dengan salah satu manajer perusahaan pengolahan daging sapi yang berpusat di daerah Kemang, Jakarta. Dikatakan bahwa daging sapi yang diolah berasal dari negara Australia dan mendapat perlakuan khusus sebelum akhirnya dipotong. Didorong oleh rasa penasaran, saya pun bertanya, perlakuan khusus apakah itu?

Beliau menceritakan bahwa sapi-sapi tersebut tiap hari dibiarkan berkeliaran di alam bebas sebelum di kandangkan pada sore hari. Perlakuan ini ibarat olahraga rutin untuk meminimalkan penimbunan lemak dan menghasilkan daging yang benar-benar sehat dan kaya protein. Secara berkala sapi tersebut dimandikan dengan "spa sapi" untuk menghilangkan kotoran dan kuman yang menempel, sekaligus menghadirkan relaksasi.

Yang tak kalah uniknya adalah sapi-sapi diperlakukan layaknya manusia dengan diperdengarkan musik-musik dengan irama menenangkan pikiran beberapa waktu menjelang disembelih. Hal ini bertujuan menghilangkan "pikiran stress" yang ada di ingatan sapi. Konon katanya, sapi yang disembelih dalam kondisi rileks mampu menghasilkan daging sehat yang minim kandungan lemak jahat. Hal yang bertolak belakang terjadi di kebanyakan rumah jagal di Indonesia yang masih dominan unsur kekerasan dan pemaksaan hewan sebelum dipotong.
Yang lebih memprihatinkan adalah hewan-hewan lucu seperti monyet telah tereksploitasi menjadi alat untuk menghasilkan uang. Lagi-lagi faktor ekonomi menjadi alasan bagi manusia untuk melakukan penyiksaan terhadap binatang yang dilindungi. Konon katanya, syarat agar seekor monyet menjadi penurut sewaktu diajak "ngamen" adalah harus disiksa oleh pemiliknya terlebih dahulu.

Tidakkah bisa Anda bayangkan bila hal ini terjadi kepada Anda saat menjadi partner kerja dengan orang lain? Apakah Anda rela disiksa untuk sebuah alasan agar bisa tunduk dan patuh kepada pemegang pimpinan kerja? Peri-kehewanan memang belum tertuang secara inplisit dalam Undang-undang. Namun kewajiban memelihara dan melestarikan kekayaan fauna adalah tanggungjawan setiap warga negara.

Sumber gambar: politiksaman.blogspot.com

    Related Posts by Categories



    Widget by Hoctro | Jack Book

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar