Sabtu, 20 Agustus 2011

Transparansi Pembayaran Asuransi Kecelakaan di Indonesia


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah pemakai kendaraan bermotor terbanyak di dunia. Pertumbuhan pasar motor Indonesia begitu pesat sehingga beberapa brand terkenal berbondong-bondong menanamkan investasi di Indonesia. Hal ini serta merta mempengaruhi tingkat perekonomian bangsa Indonesia yang mendapatkan perluasan kesempatan kerja sekaligus membantu kelancaran kegiatan perdagangan.

Peningkatan jumlah pemakai kendaraan bermotor diikuti pula oleh peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak dan asuransi kecelakaan di jalan raya. Setiap pemilik kendaraan bermotor memiliki kewajiban membayar premi asuransi ke pihak Jasa Raharja. Hal ini tertulis dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) sebagai Sumbangan Wajib Kecelakaan Lalu lintas dan Jalan Raya.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa nama pembayaran asuransi ini disamarkan? Bukankah akan lebih baik jika tertulis secara tegas sebagai premi asuransi kecelakaan? Kesan yang yang tertangkap adalah Pemerintah dengan sengaja berusaha mengelabuhi masyarakat dengan kalimat ambigu. Jika Pemerintah menghendaki perbaikan ekonomi secara nyata dalam kehidupan warganya, seharusnya sejak awal menerapkan transparansi dalam manajemen pengelolaan keuangan negara.

Citra negara paling korup di dunia seakan memperkuat dugaan bahwa Pemerintah, khususnya dinas yang berkewenangan mengelola pendapatan dari sektor asuransi kecelakaan jalan raya, berupaya mengajari warganya untuk bersikap tidak jujur. Hal ini tentu bukan hal yang patut dilakukan dalam iklim demokrasi Pancasila yang mengisyaratkan keterbukaan dan kebebasan dalam mengetahui kebijakan publik beserta pengelolaan sumber daya yang dimiliki.

Sebagai pembayar premi asuransi, masyarakat pemilik kendaraan bermotor berhak disebut nasabah dan memiliki hak untuk mengetahui pengelolaan dana yang disetor. Namun praktek yang terjadi adalah tertutupnya akses informasi ke arah tersebut. Jangankan mendapatkan laporan publik hasil pengembangan dana, bukti pembayaran premi asuransi pun tertulis dengan nama yang sengaja disamarkan.

Masyarakat sendiri tak berdaya menghadapi pungutan yang bersifat wajib dan memaksa ini. Kalau tidak bersedia membayar, pihak kepolisian tidak akan mengeluarkan STNK pemilik kendaraan bermotor. Saya pribadi tidak keberatan dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki STNK. Namun kita butuh keterbukaan terhadap cara Pemerintah memungut dana dari masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya.

Sumber gambar: bumn.go.id

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book

Tidak ada komentar:

Posting Komentar